Entah sudah ke berapa kali aku mengungkapkan kekecewaan pada industri pertelevisian di Indonesia ini. Postingan ini mungkin sudah ke sekian kalinya.
Tadi malam, selepas menjalankan sholat Isya, tiba-tiba terpikir, bagaimana caranya ikut berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas industri pertelevisian di Indonesia ini?
Sudah barang tentu kita tidak lepas dari televisi. Setidaknya, menurutku dewasa ini televisi bukan lagi barang mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya saja. Bahkan sekarang, orang yang dikatakan miskin pun mampu membeli sebuah televisi, entah bagaimana kualitasnya.
Tadi malam, selepas menjalankan sholat Isya, tiba-tiba terpikir, bagaimana caranya ikut berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas industri pertelevisian di Indonesia ini?
Sudah barang tentu kita tidak lepas dari televisi. Setidaknya, menurutku dewasa ini televisi bukan lagi barang mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya saja. Bahkan sekarang, orang yang dikatakan miskin pun mampu membeli sebuah televisi, entah bagaimana kualitasnya.
Well, sebagai seorang penikmat acara televisi (ibuku bahkan bilang sejak kecil aku udah suka nonton tivi), saya merasa kecewa dengan program-program televisi sekarang. Setiap pagi, okelah ada berita, yang mengupas tuntas kabar terbaru yang terjadi di belahan dunia manapun. Tapi setelahnya, penonton disuguhi acara gosip. See?? Pagi-pagi orang-orang bukannya diajak berpikir positif, ini malah disuguhi acara yang malah mengajak orang-orang saling menggunjing satu sama lain.
Alhamdulillah nggak jadi kecebur di dunia seperti itu. Dulu waktu kecil sempat terlintas pengen jadi artis gitulah! (Terima kasih Ya Allah~)
Kembali ke topik awal. Acara selanjutnya yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah sinetron. Lihat aja, sinetron mana sekarang yang episodenya di bawah 50 episode lah minimal. Lalu, apa sebenarnya pesan yang hendak disampaikan melalui sinetron itu? Kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan? Dari selama yang saya tonton, si protagonis sepertinya hanya bisa akting nangis, pasrah, lalu nangis lagi. Wah, mau banget tuh kalo dapet bayaran gede cuma akting gitu doank! (Sok banget!) Sementara si tokoh antagonis nggak insaf-insaf. Apa iya ada orang sejahat itu? Kalau itu ada, apa itu bukan dari hasil "didikan" sinetron yang terlalu lebay jahatnya? Lalu, si tokoh protagonis terlihat BEGO, masa iya mau kena tipu si antagonis berkali-kali? Apa dia nggak pernah belajar dari kesalahan? Aigoo~!
Sinetron sekarang sepertinya udah nggak membawa pesan yang baik. Di setiap sinetron yang ditayangkan, selalu saja ada adegan anak membantah orang tuanya, demi cinta (katanya). Kayak gitu apa nggak ngajarin generasi kita untuk "memperjuangkan" cinta mereka yang katanya "suci" itu? Selain itu, bahkan anak-anak SD (TK malah) udah diajarin cinta-cintaan. Dalam kurun waktu tayang sebuah sinetron, bisa kalian hitung berapa kali para pemain berkontak fisik? Ciumannya (entah kening atau pipi), pelukannya. Adegan pacaran, sekarang bukan lagi sekedar pegangan tangan. Dari situ malah nilai keromantisannya hilang. Karena penonton terbiasa dengan adegan seperti itu. Makanya nggak heran kalau anak-anak muda sekarang nggak malu-malu lagi main cium pacarnya di tengah jalan.
Belum lagi fakta-fakta kalau kebanyakan sinetron kita adalah hasil plagiat dari film-film atau drama-drama luar negeri? Sumpah ngeri dan kecewa dengan kenyataan ini. Apa para sutradara-sutradara itu nggak punya ide? Kehabisan ide? Atau lagi "ikut trend"? Apa mereka pikir kita nggak tahu film-film luar, makanya dengan seenak udel mereka memplagiat karya orang lain? Bukan hanya sinetron, bahkan FTV pun kayak gitu. Pernah suatu kali (waktu lagi nggak ada kuliah), ngadep tivi nonton FTV. Dari adegan awal aja, baru sekitar 3 menitlah, saya udah inget film asli dari FTV itu. Memang sih, endingnya dibedain. Tapi hey!!!! Saya bukan penonton bodoh yang dengan kagumnya bilang ceritanya bagus padahal saya tahu film aslinya.
Sekali lagi saya cuma bisa elus-elus dada.
Pesan buat para sutradara dan produser sinetron, kapan anda akan mementingkan kualitas dibanding kuantitas? Sinetron dengan beratus-ratus episode, ber-session-session, tapi cerita intinya tidak jelas apa. Tidak jelas pesan yang dibawa. Lihatlah demam Korea yang sedang melanda sekarang. Dari drama-dramanya saja, sudah terlihat (maaf dengan hormat) lebih berkualitas mereka dibandingkan kita. Dengan episode yang rata-rata sekitar 20 episode saja, bisa membuat penonton betah dan menunggu kisah selanjutnya. Drama-drama dengan cerita yang mudah ditebak, namun penonton dibuat penasaran dengan alurnya, sekali lagi meskipun sebenarnya penonton sudah tahu bagaimana endingnya nanti.
Saya sungguh sangat kecewa sampai-sampai melihat iklannya saja udah muak. Mungkin terdengar kasar, tapi memang begitulah tingkat kekecewaan saya.
Sinetron yang menunjukkan khas Indonesia menurut saya hanya sinetron dari H. Deddy Mizwar. Saya tidak pernah bosan menontonnya. Pesannya bagus, religius, kritik sosial maupun politik yang dikemas apik, dan Indosesia banget!
Hahahhaaa... jadi ingat perkataan teman saya. Ada satu sinetron yang katanya mendapatkan pernghargaan sebagai SINETRON TERPUJI, padahal setiap kali saya mencoba menonton sinetron itu, saya tidak menemukan sisi terpujinya. Yang ada hanya adegan pacar-pacaran, main licik-licikkan, rebutan pacar orang. Hah!! Sampai saya berpikir sendiri? Penghargaan ini didapat atas dasar apa sih sebenarnya? Koq bisa-bisanya sinetron seperti itu mendapat pernghargaan sebagai SINETRON TERPUJI? Ngajarin nggak bener sih iya!
Mengelus dada lagi...
Semoga saja ada sutradara/ produser yang mau membaca tulisan ini, dan menerima kritikan dari saya. Tolong perbaiki kualitas dan kepuasan penonton seperti dulu.
0 komentar on "Sinetron Indonesia: Kualitas Atau Kuantitas??"
Post a Comment